Senin, 18 Januari 2010

FULL FRAME Menjangkau Sudut Pandang Lebih Luas

FULL FRAME Menjangkau Sudut Pandang Lebih Luas


Saat kamera fotografi mulai masuk ke dunia digital pada akhir tahun 80-an, para pelaku produksi hanya berpikir bagaimana mengganti film dengan sensor digital saja. Dengan kata lain, fotografi digital pada awalnya hanyalah ”memindahkan” proses rekaman dengan film seluloid ke proses rekam dengan data digital.

Seperti kita lihat di pasaran, fotografi era film telah mengangkat format 135 yang diciptakan perusahaan Leica pada awal tahun 30-an menjadi sangat populer. Sampai berakhirnya era fotografi film, bisa dikatakan 95 persen film yang dipakai adalah film format 135 yang ukuran per gambarnya adalah 36 mm x 24 mm.

Maka, saat fotografi digital mulai tercipta, angan-angan para produser adalah membuat sensor digital yang ukurannya persis dengan frame 135, yaitu 36 mm x 24 mm itu.

Inilah awal segala kekusutan dalam dunia fotografi digital. Pada awalnya, membuat sensor digital sangatlah sulit dan mahal. Tidak bisa tidak, akhirnya sensor digital yang harganya bisa terjangkau pembeli ukurannya lebih kecil daripada 36 mm x 24 mm. Yang terjadi kemudian adalah lensa-lensa pada era film menjadi ”lebih panjang” pada era digital karena mengecilnya bidang rekam itu.

Demikianlah awal fotografi digital diwarnai dengan keinginan manusia untuk menciptakan sensor digital persis seukuran 36 mm x 24 mm, agar proses memotret pada era digital persis sama dengan era film. Sensor yang ukurannya persis sama dengan frame 135 inilah yang disebut dengan istilah full frame (FF) atau bidang penuh.

Kekusutan dalam dunia digital timbul karena FF dianggap terbaik. FF dianggap sebagai tujuan akhir penciptaan kamera digital. Padahal, benarkah hanya FF yang bisa menjawab segala kebutuhan fotografi manusia modern?

FF, DX, dan ”four thirds”

Kamera digital pertama yang FF adalah Contax N dengan kemampuan rekam 6 megapiksel, dibuat pada akhir tahun 2000 dan dipasarkan awal 2002. Sayang, kamera ini tidak populer karena lensanya bukanlah lensa yang sistemnya banyak dipakai orang. Harganya pun cukup mahal, yaitu sekitar 7.000 dollar AS (sekitar Rp 65 juta) body only.


Beberapa bulan setelah Contax N muncul di pasaran awal tahun 2002, perusahaan Canon mengeluarkan kamera EOS 1 Ds yang FF dengan kemampuan rekam 8 megapiksel. Ini adalah kamera FF yang sangat menghebohkan waktu itu karena harganya, walau mahal (juga sekitar Rp 60 juta), masih masuk akal untuk dimiliki kaum profesional. Juga, kamera ini didukung deret lensa yang sudah sangat banyak beredar di pasaran.

Kemunculan EOS 1 Ds melambungkan Canon yang selama era film bisa dikatakan berada sedikit di bawah bayang-bayang Nikon. Di sisi lain, Nikon dan beberapa perusahaan kamera lain bertahan dengan sensor yang non-FF. Canon pun, walau punya EOS 1 Ds yang FF, tetap memproduksi kamera-kamera lain yang non-FF. Kamera non-FF ini sering dikenal dengan istilah kamera dengan crop factor.

Karena sensor non-FF membuat lensa seakan memanjang, Nikon lalu menciptakan sistem lensa DX yang adaptif terhadap sensor yang ukurannya lebih kecil daripada 36 mm x 24 mm ini. Lensa DX yang dibuat Nikon, di sisi sebaliknya, tidak bisa dipakai di kamera film karena memang dirancang untuk memproyeksikan gambar ke bidang kecil.

Pada jalur yang lain, Katsuhiro Takada, peneliti pada perusahaan Olympus, tahun 1999 memikirkan sebuah sistem sensor kamera digital yang optimum. Menurut Takada, tidaklah harus kamera digital selalu mengacu pada kamera film.

Dari penelitiannya, Takada bersama tim lalu menelurkan sebuah sensor digital berukuran 17 mm x 13,4 mm yang dikemas dalam sistem bernama four thirds akibat perbandingan ukuran panjang dan lebar sensornya memang empat berbanding tiga.

Demikianlah, sistem four thirds lalu meramaikan pasaran yang sudah diisi format FF dan DX. Sistem four thirds diusung empat perusahaan besar, yaitu Olympus, Panasonic, Leica dan Sigma.

Sistem four thirds membuat kamera menjadi mungil dan juga lensanya jauh lebih kecil daripada lensa-lensa FF.

Kebangkitan FF

Seperti telah disinggung di awal tulisan, sistem FF dulu adalah impian. Kini, FF relatif menjadi hal yang mudah diraih karena harga sensor makin murah dan manusia makin mudah membuat sensor-sensor berukuran besar.


Nikon secara mengejutkan pada akhir tahun 2007 meluncurkan kamera FF-nya yang pertama, Nikon D3. Beberapa pekan dari Agustus 2008, Nikon juga akan meluncurkan D700, kamera kelas semiprofesional yang juga FF.

Saat ini pula perusahaan Sony akan meluncurkan kamera A900 yang juga FF. Apakah ini kebangkitan era FF?

Mungkin benar. Memang, keinginan manusia untuk memotret dengan nuansa persis seperti saat memakai film masih terasa sampai saat ini.

Akan tetapi, pada jalur lain, perkembangan sistem four thirds ternyata juga tidak berhenti. Keunggulan sensor berukuran kecil yang membuat ukuran lensa bisa diperkecil ternyata masih bisa dikembangkan.

Sistem yang dinamai micro four thirds tidak lama lagi akan merambah pasaran. Sistem ini adalah sistem kamera digital four thirds yang diperkecil dengan memperpendek jarak antara bagian belakang lensa dan bidang sensor. Pemendekan jarak ini tentu diikuti dengan harus dihilangkannya cermin reflex.

Kamera dengan sistem micro four thirds (MFT) bukanlah SLR lagi sebab pemotret membidik lewat jendela paralax selayaknya kamera view finder. Kamera MFT bisa berukuran kecil karena pemendekan jarak (lihat gambar B) di bagian depannya. Sistem MFT bisa memakai lensa-lensa four thirds biasa dengan bantuan sebuah adapter.

Canon, Nikon, Sony, serta diikuti Pentax dan Samsung dalam waktu dekat akan mengusung FF di pasar bebas. Sementara di sisi lain, sistem MTF juga tampaknya ditunggu penggemar sistem four thirds.

Kapan perang ini berakhir? Entahlah. Para pemakailah yang akan membuktikan antara FF dan MFT, mana yang lebih memudahkan kerja fotografi mereka

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review